Menerangi Anak-anak Tunanetra Lewat Pendidikan

Ester Lince Napitupulu
Menjadi penyandang tunanetra pada usia 24 tahun akibat glaukoma sempat membuat Ritson Manyonyo putus harapan. Berhasil bangkit dari ”kegelapan”, Sonny, sapaan dia, mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan anak-anak penyandang tunanetra.
Sonny (38) tak ingin penyandang tunanetra terjebak pilihan hidup yang terbatas sebagai tukang pijat dan pengamen. Ia bersama teman-teman, para penyandang tunanetra, sejak 2006 mendirikan Yayasan Elsafan yang menyediakan layanan pendidikan dan panti bagi anak-anak tunanetra, terutama anak dari keluarga tidak mampu.
”Keinginan kami sempat dipandang sinis. Ada yang bilang orang buta, kok, mengurus orang buta, mengurus diri sendiri saja sulit. Namun, nyatanya lembaga pendidikan bagi anak-anak tunanetra ini terus berkembang,” ujarnya.
Sekolah dan panti Yayasan Elsafan masih berpindah-pindah kontrakan. Mereka belum mampu membeli lahan. Kini, Yayasan Elsafan beroperasi di rumah kontrakan dua lantai di dekat Perumnas Klender, Jakarta Timur.
Anak-anak tunanetra yang terlambat menikmati bangku sekolah atau ”disembunyikan” keluarga diajak bergabung. Selain dari Jakarta dan sekitarnya, mereka, antara lain, juga dari Pontianak dan Medan.
Dari 41 siswa, sebanyak 60-70 persen tak membayar karena berasal dari keluarga tidak mampu.
Layanan individu
Pendidikan yang ia kembangkan memberi layanan individual, mendorong setiap anak berkembang sesuai potensinya. Anak-anak tunanetra itu umumnya berbakat di bidang vokal, alat musik, teknologi komputer, dan olahraga.
”Kami sediakan ekstrakurikuler (ekskul) sesuai minat dan bakatnya. Mereka dibimbing mengembangkan bakatnya agar kelak mandiri dengan apa yang dia bisa,” ujar Sonny yang hobi bermain drum.
Demi pelayanan individu yang maksimal, ia merekrut 37 karyawan untuk melayani 41 siswa. Pada Senin-Jumat, seusai belajar, siswa mengikuti ekskul yang diminati, seperti musik, paduan suara, angklung, tata boga, dan bahasa Mandarin.
Pengoptimalan bakat setiap anak itu membuahkan hasil. Dalam bidang musik dan seni suara, anak-anak Yayasan Elsafan sering meraih juara dalam lomba musik/ vokal tingkat DKI Jakarta. Di bidang olahraga, ada siswa yang meraih medali emas. Kelompok musik Elsafan Children Voice sering tampil di berbagai acara. Mereka juga telah membuat album.
Sonny bercerita, banyak anak tunanetra yang mengalami luka batin karena sering diabaikan keluarga atau tak mendapat pendidikan sewajarnya. Di Yayasan Elsafan, mereka mendapat pendampingan untuk memulihkan kembali harga diri dan rasa percaya dirinya.
Melawan kegelapan
Kebutaan yang datang saat Sonny menjadi mahasiswa sempat membuat dia mengkhawatirkan masa depan. Ia meninggalkan kuliah pada semester VI. Ia butuh orang lain untuk beraktivitas. Hal ini membuat dia merasa menjadi beban orang lain.
Namun, kepindahannya ke Salatiga mengubah hati dan pikirannya. Ia mengenal dosen penyandang tunanetra di Universitas Satya Wacana. Ia juga mengikuti perkemahan penyandang tunanetra di Ambarawa. Di sini ia menemukan penyandang tunanetra yang bergelar akademis.
”Fakta itu mengubah saya, yang awalnya pesimistis,” ujar Sonny. Ia lalu belajar huruf braille dan hidup mandiri di Yogyakarta. Ia bertekad kembali kuliah dengan memakai alat perekam. Ia meraih nilai skripsi terbaik di kampusnya.
”Saya senang bisa merdeka dari kegelapan. Saya bisa membaca huruf braille dan pergi sendiri, lepas dari hambatan.”
Namun, menjalani kehidupan sebagai penyandang tunanetra tak mudah. Sonny sempat ditolak kuliah S-2. Sejumlah temannya penyandang tunanetra mendapatkan pekerjaan yang tak sesuai dengan pendidikan mereka karena terbatasnya perusahaan yang mau menerima.
Timbul keinginan Sonny membantu anak-anak tunanetra. Kalau tak sedini mungkin dilatih, penyandang tunanetra akan menjadi beban bagi orang lain.
Sonny aktif dalam berbagai organisasi untuk membangun jaringan. Ia tak ingin dikasihani demi mendapatkan dana. Ia menunjukkan potensi anak-anak tunanetra lewat kemandirian dan prestasi. Uluran tangan dari berbagai pihak mengalir setelah melihat kiprahnya.
Ia berharap suatu saat Yayasan Elsafan punya lahan, panti, dan balai kerja agar bisa menampung lebih banyak anak tunanetra yang butuh pendidikan dan dukungan untuk dikembangkan potensinya.

Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi anak tunanetra


1. Kebutuhan Pendidikan
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak , dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman bagi anak yang tergolong buta sisa penglihatannya tidak lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehinga bagi mereka digunakan huruf Braille.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena memiliki hambatan maka selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.

2. Layanan Pendidikan Bagi Anak Tunanetra
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.

a. Jenis Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan layanan khusus.
ð Layanan umum
Latihan yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
v Keterampilan
v Kesenian
v Olahraga
ð Layanan khusus/layanan rehabilitasi
Layanan khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain sebagai berikut:
F latihan membaca dan menulis braille
F latihan penggunaan tongkat
F latihan orientasi dan mobilitas
F latihan visual/fungsional penglihatan

b. Tempat /Sistem Layanan
ð Tempat khusus/ sistem segregasi
Tempat pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a) Sekolah khusus
Sekolah khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak tunanetra.
b) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c) Kelas jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
ð Sekolah biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru Pembimbing Khusus (GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan khusus bagi anak tunanetra.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban yang sederajat. Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh keuntungan berikut:
a) Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b) Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
Bentuk keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk & Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang meliputi:
v Bentuk kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
v Kelas biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
v Kelas biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
v Kelas khusus (special class)

c. Ciri Khas Layanan
Hal-hal yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1) Penempatan anak tunanetra
Dalam menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
| Anak tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
| Memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya
| Anak tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
| Tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
2) Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3) Ruang belajar bagi anak tunanetra terutama anaklow vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.


d. Strategi dan Media Pembelajaran
a) Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
1) Berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif.
2) Berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik dan heuristik.
3) Berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
4) Berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok kecil, dan individual.
5) Berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan melalui media.
Di samping strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
· Strategi individualisasi,
· Kooperatif, dan
· Modifikasi perilaku
Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran.
Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
(1) Prinsip individual
Prinsip individual, mempunyai pengertian bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individu.
(2) Prinsip kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
(3) Prinsip totalitas
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus memungkinkan anak tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara total atau menyeluruh.
(4) Prinsip aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian, guru berfungsi sebagai fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan motivasi, yang membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
b) Media pembelajaran
Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satunya ditentukan oleh penggunaan komponen ini.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
· Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut sebagai alat peraga.
· Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran anak tunanetra.
1) Alat peraga
a) Objek atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya, objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b) Benda asli yang diawetkan, contohnya binatang yang diawetkan.
c) Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
· Model/tiruan 3 dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume) sehingga bentuknya hampir sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat substansi, permukaan, dan ukuran ada kemungkinan tidak sama.
· Model dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2) Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain berikut ini.
§ Alat bantu untuk baca-tulis,
§ Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision),
§ Alat bantu berhitung,
§ Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra.

e. Evaluasi
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual. Contohnya anda tidak dapat menanyakan tentang warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi visual.
§ Soal yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya dalam bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya.
§ Anda harus bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak tunanetra atau memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuan.
§ Waktu pelaksanaan tes bagi anak tunanetra, hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk anak awas.

Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Tunanetra

A. Pengertian Tunanetra
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989:p.971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas).
Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”.
Pihak lain, ada orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kaca mata.
Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang selebar 1 inci memuat 18 huruf.
Tidak demikian. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan ”Low vision”.


B. Klasifikasi Anak Tunanetra
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain :
Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :

1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :

1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.

Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :

1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :

1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
2. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.

Kirk (1962:p.214) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :

1. Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
2. Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3. Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
4. Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
5. Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.

Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :

Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :

1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

Karakteristik Anak Tunanetra

1. Fisik (Physical)

Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
Mata juling
Sering berkedip
Menyipitkan mata
(kelopak) mata merah
Mata infeksi
Gerakan mata tak beraturan dan cepat
Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

2. Perilaku (Behavior)

Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
Menggosok mata secara berlebihan.
Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
Membawa bukunya ke dekat mata.
Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
Merasa pusing atau sakit kepala.
Kabur atau penglihatan ganda.

3. Psikis

Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
Curiga terhadap orang lain
Perasaan mudah tersinggung
Ketergantungan yang berlebihan
Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention) dan persaman.
Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
5. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.

C. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1) Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2) Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).

Strategi pembelajaran anak tuna netra

Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :

1) Prinsip Individual

Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).

2) Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.

3) Prinsip totalitas

Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.

4) Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)

Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.

Pola Pembelajaran

Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
Sumber: bintangbangsaku.com

tentang

kontak